Minggu, 27 Mei 2012

Spesial.... Janji + Sumpah dimasak pake Maaf

By : https://www.facebook.com/elleanooRrwaz


“Demi Allah..... Aku berbeda dengan yang lain, aku tak akan menyakitimu, apa lagi meninggalkanmu, sungguh aku tak kan bisa walau sedetik saja tanpamu......”


Kalimat di atas bisa dibilang sebagai gombalan anak muda yang sedang kasmaran. Hal ini sering terjadi ketika salah satu pihak merasa bahwa pasangannya tidak serius atau hanya sekedar mempermainkannya. Sebagai cara agar mempertahankan argumen, lontaran2 janji bahkan sumpah pun tertumpahkan, tak tanggung2, kalimat “Wallahi” atau sering kita ucapkan dengan “Demi Allah” pun ikut melayang2 di udara menuju ruang hampa pada lapisan bumi bagian atas. Mengapa bisa terjadi demikian....???? Ada dua jawabannya. Si fulan itu tidak tau hukum bersumpah atau si fulan itu sudah faham dengan hukumnya, namun mengabaikan demi tercapainya maksud. Ironi sekali memang. Kemudian, setelah pelanggaran, muncullah kata "MAAF", demikian mudah mengucapkan sepenggal kalimat itu, namun dengan mudah pula kembali melakukan apa yang telah disesali. Orang dengan gampang berjanji dan dengan gampang pula mengingkarinya, seolah-olah tanpa dosa, lalu kemudian dengan ringan mengucapkan "MAAF".


Orang beriman tidak akan berani mempermainkan janji apalagi sumpah yang tak tanggung2 mengikutkan “Wallahi” di belakangnya. Hal ini sesuai dengan kriteria orang beriman yang disebutkan Allah SWT melalui firmanNya, “Telah beruntunglah orang2 beriman. (yaitu) yang...... Dan (sungguh beruntung) orang2 yang memelihara amanat2 dan janjinya. (QS. Al-Mu’minun : 1-8).


Dan dalam soal janji ini Rasulullah SAW bersabda "Tidak sempurna iman bagi mereka yang tidak bersifat amanah dan tidak sempurna agama bagi mereka yang tidak menepati janji." (HR.Muslim). Janji adalah suatu komitmen yang kita buat sendiri dan diharapkan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, setia kepada janji merupakan bagian dari iman. Setiap perjanjian yang dibuat oleh seorang muslim, pertanggung jawabannya bukan hanya secara horizontal, tapi juga vertikal. Karena tidak ada satupun yang dilakukan oleh seorang muslim yang tidak diminta pertanggung jawabannya.


Terlihatlah sudah dengan nyata bahwa seseorang yang tidak menepati janjinya adalah orang yang mempermainkan atau memperolok2kan agama Allah. Jika dia adalah orang beriman, pastilah dia mengerti bahwa janji itu adalah hutang, dan hutang wajib untuk dibayar, “Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhumaa : Datang seseorang pada Nabi saw dan berkata : Wahai Rasulullah (saw), Sungguh ibuku wafat dan ia mempunyai hutang puasa satu bulan, apakah aku membayarnya untuknya?, sabda Rasulullah saw :”Betul, dan hutang pada Allah SWT lebih berhak untuk ditunaikan” (Shahih Bukhari).


_Wallahu a’lam bish shawab_


Janji atau sumpah sangat sering diucapkan tanpa mengerti makna yg sebenaranya......


Bagaimanakah syairat Islam memandang fenomena ini, khususnya janji antara dua sejoli untuk menikah? Adakah landasan syar`inya? Bisakah hal itu dibenarkan?


Hukum Berjanji


Berjanji itu harus ditepati dan melanggar janji berarti berdosa. Bukan sekedar berdosa kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah. Dasar dari wajibnya kita menunaikan janji yang telah kita berikan antara lain adalah perintah Allah SWT dalam Al-Qurân Al-Karîm


Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai Saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. An-Nahl : 91)


Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan karena kamu menghalangi dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. (An-Nal : 94)


Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan 10 orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah2mu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah Menerangkan hukum2Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepadaNya). (Q.s. Al-Maidah: 89)


Makna: “…sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)…” sebagaimana penjelasan A’isyah adalah kebiasaan orang arab yang mengucapkan “wallaahi…” (demi Allah), namun maksud mereka bukan untuk bersumpah.


Berdasarkan ayat di atas, orang yang bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan dia serius dalam sumpahnya, kemudian dia melanggar sumpahnya maka dia berdosa. Untuk menebus dosanya, dia harus membayar kaffarah.


Berdasarkan ayat di atas, kaffarah sumpah ada 4:


1. Memberi makan 10 orang miskin


Memberi makan di sini adalah makanan siap saji, lengkap dengan lauk-pauknya. Hanya saja, tidak diketahui adanya dalil yang menjelaskan batasan makanan yang dimaksudkan selain pernyataan di ayat tersebut: “makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu”.


2. Memberi pakaian 10 orang miskin


Ulama berselisih pendapat tentang batasan pakaian yang dimaksud. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bahwa batas pakaian yang dimaksudkan adalah yang bisa digunakan untuk shalat. Karena itu, harus terdiri dari atasan dan bawahan. Dan tidak boleh hanya peci saja atau jilbab saja. Karena ini belum bisa disebut pakaian.


Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang miskin yang berhak menerima dua bentuk kafarah di atas hanya orang miskin yang muslim. ‎


3. Membebaskan budak


Keterangan: Tiga jenis kaffarah di atas, boleh memilih salah satu. Jika tidak mampu untuk melakukan salah satu di antara tiga di atas maka beralih pada kaffarah keempat,


4. Berpuasa selama tiga hari.


Pilihan yang keempat ini hanya dibolehkan jika tidak sanggup melakukan salah satu diantara tiga pilihan sebelumnya. Apakah puasanya harus berturut-turut? Ayat di atas tidak memberikan batasan. Hanya saja, madzhab hanafiyah dan hambali mempersyaratkan harus berturut-turut. Pendapat yang kuat dalam masalah ini, boleh tidak berturut-turut, dan dikerjakan semampunya.


Demikian keterangan yang disadur dari Fiqh Sunah Sayid Sabiq, (3/25 – 28).


Ingkar Janji Adalah Perbuatan Syetan


Ingkar janji itu merupakan sifat dan perbuatan syetan. Dan mereka menggunakan janji itu dalam rangka mengelabuhi manusia dan menarik mereka ke dalam kesesatan. Dengan menjual janji itu, maka syetan telah berhasil menangguk keuntungan yang sangat besar. Karena alih-alih melaksanakan janjinya, syetan justru akan merasakan kenikmatan manakala manusia berhasil termakan janji-janji kosongnya itu.


Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (QS. An-Nisa : 120)


Ingkar Janji Adalah Sifat Bani Israil


Ingkar janji juga perintah Allah kepada Bani Israil, namun sayangnya perintah itu dilanggarnya dan mereka dikenal sebagai umat yang terbiasa ingkar janji. Hal itu diabadikan di dalam Al-Quran Al-Karim.


Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut. (QS. Al-Baqarah : 40)


Janji Yang Mungkar


Namun janji itu hanya wajib ditunaikan manakala berbentuk sesuatu yang halal dan makruf. Sebaliknya bila janji itu adalah sesuatu yang mungkar, haram, maksiat atau hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam, maka janji itu adalah janji yang batil. Hukumnya menjadi haram untuk dilaksanakan.


Misalnya seseorang berjanji untuk berzina, minum khamar, mencuri, membunuh atau melakukan kemaksiatan lainnya, maka janji itu adalah janji yang mungkar. Haram hukumnya bagi seorang muslim untuk melaksanakan janjinya itu. Meski pun ketika berjanji, dia mengucapkan nama Allah SWT atau sampai bersumpah. Sebab janji untuk melakukan kemungkaran itu hukumnya batal dengan sendirinya.


Dalam kasus tertentu, bila seseorang dipaksa untuk berjanji melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam, tidak ada kewajiban sama sekali baginya untuk menunaikannya. Misalnya, seorang prajurit muslim dan disiksa oleh lawan. Lalu sebagai syarat pembebasan hukumannya, dia dipaksa berjanji untuk tidak shalat atau mengerjakan perintah agama. Maka bila siksaan itu terasa berat baginya, dia diberi keringanan untuk menyatakan janji itu, namun begitu lepas dari musuh, dia sama sekali tidak punya kewajiban untuk melaksanakan janjinya itu. Sebab janji itu dengan sendirinya sudah gugur.


Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(QS. An-Nah; : 106)


Janjian Untuk Menikah


Janji yang diucapkan oleh laki-laki yang bukan mahram dan bukan dalam status mengkhitbah itu tidak mengikat buat seorang wanita untuk menikah dengan orang lain atau menerima khitbah dari orang lain. Karena itu baru sekedar janji dan bukan khitbah.


Jadi di tengah jalan, wanita itu sah-sah saja bila menikah dengan orang lain dengan atau tanpa alasan apapun. Kecuali bila anda telah mengkhitbahnya/melamarnya secara syar`i. Karena khitbah memiliki kekuatan hukum yang mengikat calon pengantin wanita.


Sebenarnya dalam Islam tidak dikenal janji seperti itu karena memang tidak memiliki kekuatan hukum. Jadi tidak ubahnya seperti pacaran dan janji-janji sepasang kekasih yang kedudukannya tidak jelas. Janji untuk menikahi yang dikenal dalam Islam adalah khitbah itu sendiri. Ini adalah sejenis ikatan meski belum sampai kepada pernikahan. Begitu menerima dan menyetujui suatu khitbah dari seorang laki-laki, maka wanita itu tidak boleh menerima lamaran orang lain. Meski belum halal, tetapi paling tidak sudah berbentuk semi ikatan. Orang lain tidak boleh mengajukan lamaran pada wanita yang sedang dalam lamaran.


Bila memang masih jauh untuk siap menikah, sebaiknya anda tidak usah terlalu memberi perhatian dalam masalah hubungan dengan wanita terlebih dahulu. Apapaun bentuknya. Dan tidak perlu membentuk hubungan khusus dengan siapa pun. Nanti pada saatnya anda siap berumah-tangga, maka silahkan ajukan lamaran kepada wanita yang menurut anda paling anda sukai. Jadi lebih real dan lebih pasti.


Dan ketahuilah bahwa para wanita umumnya lebih suka pada sesuatu yang pasti ketimbang digantung-gantung tidak karuan. Atau diberi janji-janji yang tidak jelas apa memang mungkin terlaksana atau hanya gombalisme belaka.


_Wallahu a'lam bish shawab_


Menyalahi janji atau ingkar janji, bukan saja mencederai mereka yang berjanji, tapi juga membuat buku amalannya tercoreng. Menjadikannya hamba yang tidak bersungguh-sungguh menjaga akhlaq.


Banyak sekali contoh di sekitar kita akan hal ini, mereka yang dengan gampang berjanji lalu dengan gampang pula mengingkarinya, sehingga janji tidak lagi mempunyai makna apa-apa. Kalimat demi kalimat mengalir, lalu menghilang tak berbekas.


Kalau kondisi tidak memungkinkan untuk menepati, janganlah berjanji. Dalam agama Islam diajarkan agar setiap berjanji mengucapkan kalimat insyaAllah (semoga ALLAH SWT mengizinkan), dengan tujuan ada kesungguhan kita untuk menunaikannya, bukan apologi untuk menghindari tanggung jawab. ALLAH SWT berfirman dalam Al-Quran: "Dan penuhilah janji,sesungguhnnya janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya." [Q.S Al-Isra:34] , "(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." [Q.S Ali Imran:76].


Kecenderungan orang yang berjanji sekedar lips service atau kata-kata belaka tanpa diwujudkan sangat dicela dalam agama Islam sebab melanggar janji (Ghodar) termasuk dosa yang besar dalam syariat Agama Islam. Semoga kita semua bisa meneguhkan komitmen keberagamaan dan ketaatan kita kepada ALLAH SWT, termasuk dalam memaknai kata maaf dan komitmen untuk memenuhi janji yg telah dan akan kita ucapkan.


- Amiin Yaa Rabbal Alamiin -


*Dirangkum dari beberapa sumber.