Senin, 25 Juni 2012

Abu Nawas Kena Tipu

Malam itu udara terasa begitu dingin kala Abu Nawas berada di istana berbincang-bincang dengan raja Harun ar-Rasyid.
Banyak hal yang mereka bicarakan, dan tatkala menyinggung masalah udara yang amat dingin malam itu maka raja Harun ar-Rasyid mengajukan pertanyaan pada Abu Nawas.
“Hei, ngomong-ngomong maukah kamu duduk semalaman di atas atap dengan berlepas baju, tanpa penghangat apalagi selimut?”
“Ya tergantung, Paduka!”
“Tergantung bagaimana maksudmu?”
“Maksud hamba tergantung imbalannya.”
“Kalau berhasil, kamu akan kuberi hadiah uang sebesar lima ratus dirham. Bagaimana, ok?!”
“Siap,” jawab Abu Nawas tanpa ragu.

Segera, ia tinggalkan baju khas beserta tomprang, lalu ia naik ke atas istana, duduk semalam dengan tubuh yang nyaris bugil itu. Meski menggigil kedinginan namun mengingat hadiah yang bakal diberikan sang raja cukup menggiurkan, maka ia bertekad untuk bisa bertahan hingga pagi.

Sukses! Fajar di ufuk timur pun kini menampakkan diri pertanda pagi telah tiba. Maka Abu Nawas segera turun dan langsung menemui sang raja untuk meminta hadiah yang telah ia janjikan.
“Hamba berhasil, Paduka!”, ucap Abu Nawas yang masih menggigil, “Maka mohon uang itu segera Paduka serahkan pada hamba. Secepatnya hamba hendak membeli mantel tebal mumpung tubuh hamba belum membeku.”
“Sebentar,” ujar sang raja, “satu hal perlu kutanyakan padamu, Abu Nawas!”
“Baik, to the point saja Paduka! Apa isi pertanyaan itu?” sahutnya.
“Apakah semalam kamu melihat sesuatu?” tanya sang raja.
“Maksud Paduka?”
“Emm...., cahaya misalnya.”
“Oh, jelas! Bukankah di istana ini saja bila malam tiba semua lampu dinyalakan?! Otomatis hamba melihat cahayanya.”
“Naahh.... Berarti kamu tak berhak menerima hadiah itu. Bukankah kamu telah dihangati oleh cahaya-cahaya itu?!”
“Waaahhh! Gak adil ne Paduka! Jelas-jelas tubuh saya nyaris beku seperti ini, koq malah dikatakan sudah dihangati!”

Sang raja tak menghiraukan protes Abu Nawas, bahkan ia malah diusir keluar dari istana.

Dengan Hati dongkol Abu Nawas pun segera pergi meninggalkan istana. Ia bergumam dalam hati.

“Apes, baru kali ini aku kena tipu! Awas, lain kali aku harus bisa ngerjain raja licik itu dan membuatnya bersedia menyerahkan hadiahnya berlipat ganda. Tunggu balasanku, Harun!”

Setelah beberapa hari tak tampak batang hidungnya, tiba-tiba hari itu Abu Nawas terlihat nongol di istana. Begitu tiba ia langsung menghadap raja Harun ar-Rasyid, bahkan para wartawan pun mendapat kesempatan untuk mewawancarainya.

“Eeee, rupanya kamu, Abu Nawas,” ucap sang raja, “Ada perlu apa datang ke istana? Masih mempermasalahkan kasus tempo hari?!”
“Ou, sama sekali tidak! Bagi hamba itu merupakan pelajaran tak langsung dari Paduka yang amat berharga. Justru seharusnya hamba berterima kasih pada Paduka atas peristiwa kemarin.”
“Lalu apa yang kau mau?”
“Begini, besok pagi hamba mau mengadakan pesta. Berkenaan dengan itu hamba sangat mengharap kiranya Paduka beserta seluruh pejabat tinggi kerajaan berkenan hadir pada acara tersebut.”
“Emm, baiklah! Kebetulan tak ada jadwal kunjungan untuk besok pagi.”
“Terima ksih sebelumnya, Paduka!”
Pagi-pagi Abu Nawas sudah muncul di istana, menjemput sendiri raja Harun ar-Rasyid beserta rombongan. Setelah kira-kira setengah perjalanan Abu Nawas mohon diri untuk mendahului rombongan dengan alasan mengecek persiapan dalam rangka menyambut kehadiran rombongan kerajaan tersebut.

Sesampainya di lokasi ia segera mengatur segala sesuatunya agar rencana yang telah disusun berhari-hari itu tak berantakan.
“Bagaimana, tenda sudah berdiri semua? Kursi-kursi sudah benar-benar rapi?” tanya Abu Nawas pada para anak buahnya.
“Beres!” jawab mereka serempak.

Lalu ia bergegas menuju bagian dapur. Diperintahkannya agar tungku besar ditaruh dibawah pohon raksasa yang tinggi menjulang dan dinyalakan api. Sementara periuk-periuk yang telah diisi daging mentah ia perintahkan agar digantungkan pada dahan-dahan pohon raksasa itu.
“Tambah lagi kayu bakarnya! Pantau terus, jangan sampai api ditunggu ini padam! Mumpung harga BBM belum naik, begitu api mau mengecil cepat tuangkan minyak tanah banyak-banyak dan tambah lagi kayu bakarnya!” pesan Abu Nawas.

Rombongan raja pun tiba di tempat pesta. Abu Nawas segera mempersilakan mereka agar menduduki tempat yang telah disediakan. Setelah berbasa-basi sejenak dan hadirin terlihat sudah duduk semua maka Abu Nawas mulai menyuguhkan cerita-cerita kocaknya. Kian lama suasana semakin hangat hingga sang raja tak merasa bahwa ia telah berjam-jam duduk di tempat itu.

Setelah tertawa berjam-jam maka perut sang raja pun terasa lapar. Maka tanpa rikuh ia bertanya,
“Abu Nawas! Kenapa hidangannya belum keluar?”
“Sabar sedikit Paduka,” jawab Abu Nawas, baru saja seorang juru masak memberitahukan bahwa daging yang dimasak sejak rombongan Paduka belum tiba itu kini belum juga matang.
“Daging apa pula ini?!” gumam sang raja penasaran, “Coba, antar aku ke bagian dapur!” “Mari, Paduka,” jawab Abu Nawas.

Setibanya di sana sang raja tambah heran. Ada tungku besar dengan api yang berkobar-kobar, tetapi tak terlihat ada yang dimasak.
“Abu Nawas! Kenapa tungkunya nganggur?!” tanya sang raja.
“Siapa bilang?! Lihat tuh!” sergah Abu Nawas sembari menunjuk periuk-periuk yang bergelantungan di dahan pohon raksasa.
“Kau ini bagaimana Abu Nawas> Mana mungkin bisa masak kalau jarak antara tungku dan periuk sebegitu jauh?!”
“Ah, jangan pura-pura tak tahulah Paduka! Hamba yakin bahwa dalam masalah ini Paduka lebih berpengalaman dari pada hamba. Hamba sendiri sudah membuktikan bahwa dimalam yang begitu dingin, hamba tidur semalam di atas atap tanpa baju, apalagi selimut. Tapi tetap terasa begitu hangat sebab terkena sinar lampu!”

Tahu kena sindir sang raja pun tak kuasa menahan tawa. Kemudian ia memerintahkan agar Abu Nawas diberi hadiah uang sebesar seribu dirham. Dua kali lipat dari yang ia janjikan kala itu.