Senin, 19 November 2012

SUKUK

Para ahli fikih kontemporer sepakat bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram seperti perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis jasa keuangan konvesnsional seperti bank dan asuransi, industri hiburan seperti kasino, penjudian, prostitusi, media porno dan sebagainya. Namun jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang halal seperti jasa transportasi, telekomunikasi, produksi tekstil dan sebagainya ada beberapa fukaha mengatakan menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar’i. Namun demikian ada fukaha yang tetap mengharamkan jual beli saham walau dari perusahaan yang bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya, Taqiyuudin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin dan Ali as-Salus. Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang sesungguhnya tidak Islami karena bertentangan dengan hukum syirkah Islamiyah. Kebathilannya antara lain karna dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul. Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara memberi saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negoisasi apapun baik dengan pihak perusahaan maupun persero (investor) lainya. Tidak adanya ijab dan kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatat pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar’i. Jadi, sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dahulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan Islami (syirkah Islamiyah) atau tidak. Aspek inilah yang tampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagaian besar ahli fikih dan pakar ekonomi Islam saat ini. Terbukti, mereka tidak menyinggung sama sekali aspek krusial ini. Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram) dan berbagai mekanisme transaksi yang ada. Faktor utama yang melatar belakangi hadirnya sukuk sebagai salah satu instrumen dalam sistem keuangan Islam adalah ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits yang melarang riba, maysir, gharar. Terdapat sejumlah ayat ekonomi dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang larangan riba. Turunya ayat mengenai riba dalam AL-Qur’an secara bertahap, yaitu dalam empat tahap, yang terdiri dari 8 ayat dalam 4 surat (al-Baqarah = 5 ayat; Ali Imran= 1 ayat; an-Nisa’ = 1 ayat; ar-Rum = 1 ayat). Satu ayat diturunkan di Mekkah dan selebihnya diturunkan di Madinah. Gaya pengharaman riba dalam Al-Qur’an mirip dengan bentuk pengharaman khamar dalam Al-Qur’an yaitu tidak mengharamkan secara sekaligus tetapi berangsur-angsur. Bahkan dalam hadits pun terdapat kesamaan dalam hal dosa dari dua perbuatan dosa tersebut yaitu mendapat laknat dari Allah. Larangan riba juga ditemukan dalam sejumlah hadits. Jabir berkata bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (H.R. Muslim).

Konsep keuangan berbasis syariah Islam (Islamic Finance) dewasa ini telah tumbuh secara pesat, diterima secara universal dan diadobsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah saja, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasaan Asia, Eropa, dan Amerika. Hal tersebut ditandai dengan didirikannya berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkannya berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu, juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam dan standar instrumen keuangan Islam, serta didirikannya lembaga rating Islam. Beberapa prinsip pokok dalam transaksi keuangan sesuai syariah antara lain berupa penekanan pada perjanjian yang adil, anjuran atas sistem bagi hasil atau profit syaring, serta larangan terhadap riba, ghahar, dan maysir. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah SUKUK. Di beberapa negara, sukuk telah menjadi instrumen pembiayaan anggaran negara yang penting. Fakta historis menunjukkan bahwa sukuk secara nyata sudah digunakan oleh masyarakat muslim sejak abad pertengahan. Usaha memunculkan kembali surat berharga yang mirip obligasi yang sesuai dengan syariah dilakukan kembali oleh Yordania pada tahun 1978 yang kemudian diikuti oleh pakistan, namun usaha ini kurang berhasil. Penerbitan obligasi Islam pertama kali yang sukses adalah yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia tahun 1983, bahkan pada tahun 1990 sukuk yang dikembangkan di Bahrain dan Malaysia menjadi perhatian investor dan peminjam karena dianggab merupakan sarana yang potensial untuk mengembangkan pasar kapital Islam. Pada saat ini, beberapa negara telah menjadi reguler issuer dari sukuk, misalnya Malaysia, Bahrain, Brunei Darussalam, Uni Emirate Arab, Qatar, Pakistan, dan State of Saxony Anhalt-Jerman. Penerbitan sovereign sukuk biasanya ditujukan untuk keperluan pembiayaan negara secara umum (general funding) atau untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu, misalnya pembangunan bendungan, unit pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, rumah sakit, dan jalan tol. Selain itu, sukuk juga dapat digunakan untuk keperluan pembiayaan cash-mismatch, yaitu dengan menggunakan sukuk dengan jangka waktu pendek (Islamic Treasury Bills) yang juga dapat digunakan sebagai instrumen pasar uang.

Sukuk, shikรขk atau ashukk sendiri adalah bentuk plural kata shakk yang pada mulanya berarti lembar penyataan/persaksian (sertifikat) yang digunakan orang Arab kuno untuk keperluan keamanan, jaminan imbalan dan perdagangan. Dalam konteks ekonomi, sukuk lalu dikenal sebagai instrumen finansial abad pertengahan yang digunakan oleh pengusaha dan pedagang muslim sebagai obligasi finansial. Secara singkat The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan  bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.
Sukuk pada prinsipnya mirip seperti obligasi konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, ghahar, dan maysir.
Pengertian sukuk sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) disebut juga sukuk Negara adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. SBSN ini dijual kepada individu atau perseorangan warga Negara Indonesia melaui agen penjual, dengan volume minimum yang ditentukan. SBSN dengan wakat dapat diterbitkan baik atas nama maupun atas tunjuk. SBSN tanpa wakat atau scripless adalah surat berharga yang kepemilikannya dicatat secara elektronik. 

Tujuan Penerbitan SUKUK Negara (SBSN)
1.      Memperluas basis sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan Negara. Termasuk membiayai pembangunan proyek. (Pasal 4 UU SBSN)
2.      Memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis syariah.
3.      Menciptakan Benchmark di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional.
4.      Memperluas dan mendiversikasi basis investor.
5.      Mengembangkan alternatif instrumen investasi.
6.      Memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring oleh sistem perbankan konvensional.
7.      Mengoptimalkan Pemanfaatan Barang Milik Negara.
8.      Mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia.

Manfaat atau Keuntungan Investasi pada Sukuk Ritel.
1.      Aman, dijamin oleh Negara sesuai dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2008 dan Undang-undang APBN. Berdasarkan pasal 22 Menteri menunjuk Bank Indonesia atau pihak lain sebagai agen pembayaran baik yang diterbitkan Pemerintah maupun yang diterbitkan melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
2.      Imbalan, lebih tinggi dari rata-rata tingkat bunga deposito bank BUMN dan dibayarkan setiap bulan sampai dengan jatuh tempo.
3.      Profit, dapat diperdagangkan di pasar sekunder sesuai dengan harga pasar sehingga berpotensi memperoleh keuntungan atas kenaikan harga (capital gain).
4.      Bagi investor syariah, investasi ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah seperti riba (usury), gharar (uncertainity), dan maysir (gamling) sehingga selain aman juga menentramkan.
5.      Prosedur pembelian dan penjualan yang mudah dan transparan.
6.      Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisispasi serta mendukung Pembiayaan pembangunan nasional.
7.      Pembiayaan imbalan dan nilai nominal dilakukan secara tepat waktu dan online ke dalam rekening tabungan investor.

Potensi Resiko Investasi Sukuk Ritel.
Pada prinsipnya, Investasi pada Sukuk Negara Ritel adalah investasi yang bebas dari resiko gagal bayar karena dikelola oleh Negara. Karena kecil sekali kemungkinan Negara akan bangkrut sehingga sukuk menjadi nilai yang tidak bernilai. Namun, karena Sukuk Ritel mempunyai potensi keuntungan yang cukup baik, ada beberapa potensi resiko yang bisa muncul, antara lain :
1.      Resiko Pasar, berupa capital loss (kerugian atas pokok) yang terjadi akibat harga jual yang lebih rendah dibandingkan dengan harga beli, dimana resiko tersebut dapat dihindari dengan memegang sukuk sampai dengan jatuh tempo atau tidak menjual sukuk tersebut di pasar sekunder pada saat harga jual lebih rendah daripada harga belinya.
2.      Resiko likuiditas, yaitu potensi kerugian yang terjadi ketika pemilik Sukuk Negara Ritel mengalami kesulitan dalam menjual Sukuk Negara Ritel di pasar. Resiko tersebut dapat dihindari jika kuota harga beli dari agen penjual tersedia.
3.      Resiko tingkat bunga, sukuk ijarah, istisna’, salam dan yang didasarkan atas fixed rate menanggung akibat dari naik turunnya tingkat suku bunga. Kenaikan suku bunga menjadikan tingkat nilai suuk kurang diminati oleh investor.
4.      Resiko nilai tukar (foreign exchange rate) bahwa sertifikat sukuk didominasi dalam Dolar Amerika sehingga naik turunnya nilai rupiah terhadap dolar akan menjadikan nilai pembayaran terhadap investor akan berubah dari nilai awal. Turunnya nilai rupiah terhadap dolar menyebabkanbeban Pembayaran cicilan semakin besar kepada investor.
5.      Resiko operasional sukuk (operational risk) terdiri dari resiko kegagalan pembayar (default risk), resiko pembayaran kupon (coupon payment risk), resiko pelunasan aset (asset redemption risk), resiko SPV (SPV specific risk). Resiko investor (investor specific risk), resiko berhubungan dengan aset (risk related to the asset).
6.      Keterbatasan barang milik negara yang dapat dijadikan underlying asset. Sukuk merupakan sertifikat pembiayaan didasarkan atas jaminan aset riil yang didasarkan atas aset yang marketable di pasar keuangan global. Semakin banyak aset yang sesuai dengan standar yang ditentukan semakin besar bagi negara untuk mendapatkan pembiayaan dari investor internasional. Ini menunjukkan bahwa besarnya dana yang diperoleh didasarkan besar aset yang kita miliki sehingga perlu juga kita memperbaiki sarana dan prasarana yang mendukung bagi persediaan aset yang layak jual.[1]


KARAKTERISTIK SUKUK.
1.      Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title).
2.      Pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang dipergunakan.
3.      Terbebas dari unsur riba, ghahar dan maysir.
4.      Penerbitannya melalui special purpose vehicle (SPV).
5.      Memerlukan underlying asset.[2]
6.      Penggunaan proceeds harus sesuai prinsip syariah.


SYARAT BERINVESTASI
1.      Individu atau perseorangan WNI yang dibuktikan dengan KTP/SIM.
2.      Investasi minimum Rp. 5.000.000,- dan kelipatannya
3.      Mempunyai rekening tabungan di salah satu bank umum ( bank umum syariah/bank umum konvensional) dan rekening surat berharga di salah satu sub registry.


[1] Nur Khalis, Sukuki: Instrumen Investasi yang Halal dan Menjanjikan, Agustus 2011
[2] Underlying asset adalah aset yang dijadikan sebagai objek atau dasar transaksi dalam penerbitan sukuk. Ini merupakan salah satu aspek utama yang menjadi pembeda antara sukuk dengan obligasi konvensional. Sesuai UU, Underlying Asset Sukuk Negara adalah Barang Milik Negara, baik berupa tanah dan/atau bangunan serta Objek Pembiayaan.

DASAR HUKUM.
1.      Al-Qur’an dan Hadits.
2.      Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
3.      Peraturan Pemerintah :
a.       PP Nomor 56 Tahun 2008 tentang Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara.
b.      PP Nomor 57 Tahun 2008 tentang Pendirian Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara.
c.       PP Nomor 67 Tahun 2008 tentang Pendirian Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara I.
d.      PP Nomor 51 Tahun 2010  tentang Pendirian Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara II.
4.      Peraturan Menteri Keuangan :
a.       Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 2008  tentang Penerbitan dan Penjualan SBSN Dengan Cara Bookbuilding di Pasar Perdana Dalam Negeri.
b.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 Tahun 2008 tentang Penerbitan SBSN Dalam Valuta Asing di Pasar Perdana Internasional.
c.       Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218 Tahun 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan SBSN Ritel di Pasar Perdana Dalam Negeri.
d.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2009 tentang Penerbitan dan Penjualan SBSN di Pasar Perdana Dalam Negeri Dengan Cara Lelang.
e.       Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 Tahun 2009 tentang Penerbitan dan Penjualan SBSN Dengan Cara Penempatan Langsung (Private Placement).
f.       Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.08/2008.
5.      Ketentuan Pidana di atur dalam Pasal 30 dan 31 KUHP.




Jenis-jenis SUKUK.
Berbagai jenis struktur Sukuk yang dikenal secara internasional dan telah mendapatkan endorsement dari The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Instituions (AAOIFI) antara lain :
1.      Sukuk Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Ijarah, di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atau suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk Ijarah dibedakan menjadi Ijarah Al Muntahiya (Sale and Lease Back) dan Ijarah Headlease and Sublease.
2.      Sukuk Mudharabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian, keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang menjadi penyedia modal.
3.      Sukuk Musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerjasama mengabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan atau kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah pastisipasi modal masing-masing pihak.
4.      Istisna’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istisna’ dimana para pihak menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
Sedangkan jenis sukuk domestik (Sukuk Negara) adalah :
1.      Sukuk Negara Ritel (SR), adalah Sukuk Negara yang diterbitkan khusus untuk investor individu WNI, dimana minimal pembelian sebesar Rp. 5 juta.
2.      Sukuk Valas (SNI), adalah Sukuk Negara yang diterbitkan di pasar perdana internasional dalam denominasi valuta asing, khususnya USD.
3.      Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI), adalah sukuk negara yang diterbitkan khusus untuk penempatan dana haji pada Sukuk Negara.
4.      Sukuk Seri (IFR), adalah Sukuk Negara yang diterbitkan di pasar perdana dalam negri dalam denominasi Rupiah untuk investor dengan jumlah pembelian minimal Rp. 1 miliyar.

Metode Penerbitan dan Tata Cara Berinvestasi pada Sukuk Negara.
1.      Bookbuilding, diterbitkan dengan bantuan Agen Penjual atau Joint Lead Managers. Biasa digunakan untuk Penerbitan Sukuk Ritel, Sukuk Valas dan Sukuk Domestik (seri IFR0001 IFR0002). Investor dapat melakukan pemesanan melalui Agen Penjual atau Joint Lead Manager (JLM) yang ditunjuk oleh Pemerintah.
2.      Lelang, diterbitkan dengan mengikutsertakan Bank Indonesia sebagai Agen Lelang dan Peserta Lelang. Digunakan untuk penerbitan Sukuk Domestik mulai seri IFR0003 dan seterusnya. Investor yang ingin berinvestasi pada Sukuk Negara yang diterbitkan dengan cara lelang, dapat melakukan pemesanan melalui Peserta Lelang yang telah ditunjuk oleh Pemerintah.
3.      Private Placement, digunakan untuk Penerbitan Sukuk hanya kepada pihak tertentu dengan terms dan conditions yang disepakati. Telah digunakan untuk penerbitan Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Investor yang ingin berinvestasi pada Sukuk Negara yang diterbitkan dengan cara private placement, dapat langsung menghubungi Direktorat Pembiayaan Syariah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang – Kementerian Keuangan.[1]








PENUTUP
       Sejarah mencatat keberadaan Sukuk merupakan suatu eksistensi baru yang memberikan inofasi di bidang Obligasi Konvensional. Sukuk merupakan suatu produk yang sudah digunakan sejak abad pertengahan Islam untuk mentransfer kewajiban keuangan yang berasal dari perdagangan dan kegiatan komersial lainnya. Sukuk merupakan instrumen baru yang masih kurang dikenal dalam masyarakat yang dapat berakibat kurang partisipasi mereka.
            Sukuk merupakan suatu peluang investasi yang halal sesuai dengan syariah dan sangat menjanjikan. Sukuk dengan resiko kecil karena mendapat jaminan dari pemerintah dalam jumlah yang tidak terbatas. Berbeda dengan deposito yang dibatasi maksimal 2 miliyar. Undang-undang SBSN cukup memberikan harapan baru bagi perkembangan dan masa depan ekonomi syariah di Indonesia.
            Sudah saatnya kita sebagai umat Islam menggunakan sistem yang berbasis syariah. Dulu kendala kita di Indonesia ini adalah tidak adanya lembaga yang mengatur tentang sukuk itu sendiri. Namun kini pada tahun 2008, Indonesia mulai memproduksi produk hukum lain yakni Sukuk dengan transaksi yang aman dan menentramkan. Bukan saja keuntungan duniawi yang besar yang kita peroleh, namun insyaAllah kita dijauhkan dari murka Allah SWT. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin.....


[1] Informasi lebih lanjut mengenai tata cara investasi pada Sukuk Negara dapat diperolah dengan mengakses situs www.dmo.or.id atau www.depkeu.go.id


Daftar Pustaka 1. http://www.republika.co.id/berita/syariah/keuangan , Keuangan Syariah RI Duduki Peringkat Empat Dunia | Republika Online 2. N http://www.m.cybermq.com/forum/detail-topik/3/9/2084 , Jual Beli Saham 3. Fokusmedia, kompilasi hukum ekonomi syariah, Bandung, 2008 4. Muhammad Hikam Masrun, makalah: Dua Catatan Atas Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara Nomor 19 Tahun 2008. 5. Nur Khalis, makalah: SUKUK: Instrumen Investasi yang Halal dan Menjanjikan, Agustus, 2008. 6. Wiwik Suryomurti, Super Cerdas Investasi Syariah, Qultum Media, 2011 7. Zeedny, Himpunana Undang-undang & Peraturan Pemerintah tentang Ekonomi Syariah, Yogyakarta, 2009