Kamis, 28 April 2011

Primitifnya orang-orang Salib pada masa Perang Salib (bagian 1)

Ibnu Jubayrs merupakan seorang penjelajah asli Spanyol yang terbiasa menjalin kontak dengan kaum salib di Andalusia.
Ketika Godfrey de Bouillon memimpin pasukan Salib gelombang pertama ke Yerusalem dan berhasil mendudukinya pada tahun 1099, sejumlah kota dijadikan kantung-kantung konsentrasi pasukan Salib diantaranya kota Acre.


Dalam perjalanannya melewati Tanah Suci Yerusalem, Ibnu Jubayr menjumpai kebiasaan-kebiasaan orang-orang Salib ini, termasuk ksatrianya yang kala itu disebut sebagai orang Frank, yang jauh dari kesan beradab sehingga menimbulkan keheranan, kecaman dan sekaligus menjadi bahan olok-olok kaum Muslim terhadap mereka.



Acre merupakan salah satu kota pelabuhan utama menuju Yerusalem.
Hampir semua pasukan Salib yang berangkat dari Eropa utara ke Yerusalem melalui laut bisa dipastikan mendarat di kota ini.
Ibnu Jubayr mengungkapkan;

"Setelah orang-orang Frank datang dan tinggal di kota pelabuhan ini, kota yang tadinya indah menjadi kotor dan berbau busuk. Penuh sampah dan kotoran. Mereka (orang-orang Frank) ini membuang kotoran di jalan-jalan dan di sembarang tempat, sehingga jalan-jalan penuh dengan kotoran manusia.
Tak heran jika surat pertama yang dilayangkan pimpinan pasukan Salib kepada induk pasukannya yang masih berada di Eropa adalah permintaan dikirimkan sepatu dalam jumlah besar, karena jalan-jalan penuh dengan kotoran manusia."


Bukan itu saja, yang lebih menggelikan dan menjijikkan, kotoran manusia ternyata juga secara "rahasia" diolah menjadi bagian dari ritual suci gereja-gereja sekitar Yerusalem.
Bahkan diperjual belikan dengan harga yang sangat mahal melebihi harga emas.


Dalam sastra populer berjudul The Tale of 'Umar ibn Nu'man yang dimuat dalam Alif Laylah wa Laylah, yang mengungkapkan pandangan kaum Muslimin terhadap orang-orang Salib semasa pendudukan di Yerusalem dan sekitarnya, menjelaskan:

"Saya ceritakan padamu sesuatu tentang pedupaan agung dari kotoran Uskup.
Ketika Uskup Agung Kristen di Konstantinopel memberi isyarat, para pendeta segera mengumpulkannya dalam sehelai sutera dan menjemurnya. Mereka kemudian mencampurkannya dengan minyak misik, damar dan kapur barus.
Dan ketika telah cukup kering, mereka membuatnya menjadi bubuk dan memasukkannya ke dalam kotak-kotak kecil keemasan. Kotak-kotak ini kemudian dikirimkan kepada semua Raja dan gereja Kristen, dan bubuk tersebut digunakan sebagai pedupaan paling suci untuk semua penyucian Kristen pada setiap kesempatan yang khidmat, untuk memberkati mempelai wanita, untuk membuat wangi bayi, dan untuk memberkati para pendeta saat pentahbisan.

Karena kotoran asli dari Uskup itu hampir tidak mencukupi untuk 10 wilayah, sangat kurang untuk semua wilayah-wilayah Kristen.
Para pendeta biasanya memalsukan bubuk tersebut dengan mencampurkan bahan-bahan yang 'kurang suci' ke dalamnya (kalau bisa dikatakan begitu), yaitu kotoran dari Uskup yang lebih rendah tingkatannya, bahkan kotoran-kotoran para pendeta itu sendiri.

Penipuan ini sulit diketahui.
Orang-orang Yunani menjijikkan ini menghargai bubuk tersebut untuk kebaikan-kebaikan yang lain; mereka menggunakannya sebagai obat sakit mata dan sebagai obat sakit perut serta usus.
Namun hanya para Raja dan Ratu dan orang-orang yang sangat kaya yang mampu memperoleh pengobatan ini, karena persediaan bahannya yang sangat terbatas.
Bubuk seberat 1 dirham biasa dijual seharga seribu dinar emas. Harganya sangat mahal memang."